Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Rachmat Sudibjo, menyebutkan investor mulai tertarik untuk mengembangkan blok minyak yang kurang produktif. Hal itu akibat perkembangan makin tingginya harga minyak dunia.
"Areal eksploitasi makin sulit karena cekungan yang terbukti prospektif sudah banyak yang dikelola. Akibatnya, lokasi eksplorasi makin bergeser ke wilayah frontier area yang distribusi logistiknya juga sangat sulit," ujar Rachmat Sudibjo, dalam diskusi digelar Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Rabu (21/5), di Jakarta.
Ia menyebutkan, potensi kesuksesan dalam aktivitas eksplorasi di sumber minyak baru di Indonesia relatif besar. Saat ini success ratio kegiatan eksplorasi minyak mencapai 1:5.
Artinya, dari lima area sumur yang dieksplorasi, ditemukan satu sumur yang memiliki sumber minyak, empat lainnya gagal. "Angka itu relatif bagus untuk kawasan Asia. Di negara lain rasionya bisa melebihi 1:10. Tentu, itu di luar lokasi eksplorasi di negara kawasan Timur Tengah," tambah mantan Dirjen Migas itu.
Rendahnya aktivitas eksplorasi sumur minyak karena tingginya faktor risiko. Sehingga, wajar apabila institusi finansial kurang mendukung kegiatan tersebut. Aktivitas eksplorasi itu seolah gambling karena rasio keberhasilannya juga relatif kecil.
"Padahal, aktivitas pengeboran untuk satu sumur minyak bisa mencapai US$10 juta. Perbankan Indonesia tentu tidak berani, kecuali bank dengan modal yang sangat besar," ujarnya.
Wakil Kepala BP Migas, Abdul Muin, menyebutkan rendahnya investasi eksplorasi minyak merupakan ekses dari kebijakan di masa lalu ketika harga minyak menyentuh level terendah. Kebijakan itu dirasa cukup rasional karena ongkos eksplorasi yang tidak sedikit. Sedangkan, jumlah temuan semakin sedikit.
"Investor tentu selektif membaca potensi untung yang lebih besar yakni di lapangan minyak yang bisa langsung menghasilkan (eksploitasi, red). Eksplorasi masih dilakukan dengan pertimbangan biaya yang rendah dan potensi cadangan minyak yang besar. Pertimbangan mereka kan murni bisnis," tandasnya.
Muin mengatakan, pemerintah telah memberikan insentif berupa penghapusan tarif bea masuk bagi peralatan eksplorasi minyak. Namun, dampak kebijakan fiskal itu baru bisa dirasakan dalam jangka panjang.
"Yang penting, ada tambahan dari hasil eksplorasi sumber-sumber baru yang dilakukan investor bermodal besar. Sebab, eksplorasi yang sekarang dilakukan lokasinya jauh di laut dalam (deep water). Lokasi semacam itu tentu sangat sulit dan butuh biaya besar," ucap Muin.
Kenaikan harga minyak mentah di pasar dunia ikut memicu naiknya biaya eksplorasi cekungan yang terdapat di laut dalam. Itu karena teknis eksplorasi di laut dalam sangat mengandalkan teknologi tinggi. Akibatnya, keekonomian dari proses eksplorasinya sangat sensitif terhadap situasi harga minyak mentah saat ini.
"Bisa dibilang, potensi risiko eksplorasi di laut dalam menjadi sangat tinggi sehingga perlu insentif yang relatif besar. Padahal, prospek cekungan di deep water ini mampu menambah cadangan sumur minyak Indonesia di masa mendatang," ujarnya.
Potensi cadangan minyak di laut dalam yang cukup besar seperti di Selat Makassar yang kini dikelola Chevron Pacific Indonesia. "Tahun lalu saja mereka menyisihkan biaya eksplorasi sekitar 20% dari total biaya investasi. Angka sebesar itu luar biasa besar," tandas Muin.
Ia menandaskan, insentif fiskal sangat membantu iklim investasi sektor perminyakan secara keseluruhan. Pasalnya, iklim investasi di sektor migas merupakan kiblat bagi investasi di sektor lainnya.
"Kami sangat komit menjaga iklim investasi di sektor migas karena kegiatan di sektor hulu migas merupakan investasi jangka panjang. Tinggal menjaga kontinuitas keberlanjutan iklim investasi tersebut. Hal itu tergantung kepastian hukum yang baik," tandasnya.
Selain insentif, yang juga dibutuhkan adalah perlakuan khusus bagi aktivitas eksplorasi. Proyek strategis dalam kerangka antisipasi kecukupan pasokan minyak dalam negeri membutuhkan kebijakan spesifik. [E1/I4]
http://www.inilah.com/berita_print.php?id=29466
Sabtu, 16 Januari 2010
Minimnya kajian pendataan terhadap sumber minyak di sejumlah cekungan regional Indonesia membuat potensi minyak dan gas alam belum tergarap optimal.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar